Ahlu Shuffah: Cikal Bakal Pondok Pesantren dan Keteladanan Hidup Zuhud

Ahlu Shuffah adalah sekelompok sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di serambi Masjid Nabawi dengan penuh kesederhanaan. Dari ruang kecil itu lahir periwayat hadis terbanyak, panglima perang, dan teladan hidup zuhud yang menginspirasi hingga kini. Artikel ini mengulas sejarah, kisah, dan hikmah Ahlu Shuffah sebagai cikal bakal tradisi pesantren di Nusantara.

TATSQIF

9/16/20254 min read

Madinah, abad ke-7 Masehi. Di halaman Masjid Nabawi, ada sebuah serambi sederhana di bagian utara. Lantai tanahnya dingin, atapnya tak sepenuhnya menahan panas siang dan dingin malam. Namun dari tempat kecil itu, lahir cahaya ilmu, hikmah, dan teladan yang tak pernah padam.

Di sanalah sekelompok sahabat Rasulullah SAW tinggal. Mereka datang dari Mekah dan berbagai daerah lain, meninggalkan keluarga, harta, dan tempat tinggal. Mereka miskin secara duniawi, namun kaya dalam iman dan semangat menuntut ilmu.

Merekalah yang dikenal sebagai Ahlu Shuffah.

Serambi Masjid Sebagai Rumah

Rasulullah SAW tidak membiarkan para sahabat yang terasing ini hidup tanpa tempat. Beliau memberikan mereka ruang di serambi Masjid Nabawi, yang dulu merupakan arah kiblat ke Baitul Maqdis. Serambi itu bukan sekadar tempat bernaung. Ia menjadi rumah, sekolah, dan madrasah pertama dalam sejarah Islam.

Hari-hari Ahlu Shuffah dipenuhi tilawah Al-Qur’an, belajar hadis, mendengar langsung wejangan Rasulullah SAW, dan beribadah dengan penuh kekhusyukan. Kadang mereka menahan lapar, kadang mereka hanya berbagi sebutir kurma. Tetapi dari kesederhanaan itu, lahirlah generasi yang tangguh.

Di antara mereka ada nama-nama besar: Abu Hurairah, Abu Dzar Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, Bilal bin Rabbah, Hudzaifah bin Yaman, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Rifa’ah Abu Lubabah. Sebagian dari mereka kelak menjadi pemimpin, panglima, dan periwayat ilmu.

Abu Hurairah: Sahabat Kucing Kecil, Penjaga Ribuan Hadis

Salah satu penghuni Shuffah paling terkenal adalah Abu Hurairah RA. Julukannya diberikan Rasulullah karena kebiasaannya menggendong seekor kucing kecil ketika menggembala.

Padahal ia sebenarnya bukan dari kalangan miskin. Namun ia lebih memilih tinggal bersama Ahlu Shuffah agar bisa terus dekat dengan Rasulullah SAW. Dari kedekatan itulah lahir ribuan hadis.

Bayangkan, Abu Hurairah meriwayatkan 5.374 hadis—jumlah terbanyak dibandingkan sahabat lainnya. Tidak kurang dari 800 sahabat dan tabi’in menerima hadis darinya. Itu semua berawal dari serambi sederhana, tempat ia belajar siang dan malam.

Kelak, Abu Hurairah pernah diangkat sebagai gubernur Bahrain. Namun ketika ditawari untuk menjabat lagi, ia menolak. Ia takut kekuasaan merusak kehormatan, mengambil harta, atau membuatnya menghakimi tanpa ilmu. Baginya, menjaga ilmu lebih mulia daripada menjaga tahta.

Karakteristik Ahlu Shuffah

Kehidupan mereka penuh kesahajaan, tetapi sarat makna. Ada empat ciri utama yang melekat pada Ahlu Shuffah:

  1. Mereka adalah muhajirin miskin dan terasing.

  2. Hidup zuhud, sederhana, dan jauh dari kemewahan.

  3. Fokus pada Al-Qur’an, hadis, dan kebijaksanaan.

  4. Semangat jihad yang menyala-nyala.

Dalam keadaan normal, jumlah mereka sekitar 70–100 orang. Namun ketika banyak mualaf hijrah ke Madinah, jumlah itu bisa melonjak hingga 400–700 orang. Rasulullah SAW sendiri yang menanggung kehidupan mereka.

Dan lihatlah buahnya. Dari serambi itu lahirlah panglima besar seperti Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, serta gubernur alim seperti Abu Hurairah.

Jiwa Jihad Para Penghuni Serambi

Meski hidup sederhana, mereka tidak terpisah dari jihad. Banyak di antara Ahlu Shuffah yang gugur dalam peperangan besar: Badar, Uhud, Khaibar, Tabuk, hingga Yamamah.

Nama-nama seperti Shafwan bin Baidha’, Karim bin Fatik Al-Asadi, Khubaib bin Yasaaf, Salim bin Umair, dan Haritsah bin An-Nu’man menjadi saksi betapa jihad adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah: Kepercayaan Umat

Salah satu figur paling menonjol adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Ia termasuk assabiqunal awwalun (golongan pertama yang masuk Islam) dan salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin surga. Rasulullah menjulukinya sebagai Aminul Ummah — “Kepercayaan Umat”.

Ia mengikuti semua perang bersama Nabi, bahkan berperan penting pasca wafatnya Rasulullah ketika Abu Bakar ditetapkan sebagai khalifah. Di medan jihad, ia menggantikan Khalid bin Walid sebagai panglima dalam perang Yarmuk, hingga berhasil menaklukkan Yerusalem.

Namun, kesederhanaannya tetap terjaga. Ketika Khalifah Umar datang berkunjung, Abu Ubaidah menawarkan dua menu: menu panglima atau menu prajurit. Umar memilih keduanya. Dan ternyata, menu panglima lebih sederhana daripada menu prajurit.

Abu Ubaidah wafat di Syam akibat wabah. Umar pernah memintanya pulang ke Madinah untuk selamat, tapi ia menolak. Ia memilih tetap membersamai rakyatnya hingga ajal menjemput.

Julaibib: Cinta yang Tak Berujung di Dunia

Kisah lain yang menggetarkan hati datang dari Julaibib. Ia miskin, berwajah sederhana, dan tidak terpandang. Rasulullah SAW menjodohkannya dengan Zulfah, putri bangsawan Madinah.

Awalnya Zulfah menolak, tetapi ketika tahu perjodohan itu datang dari Nabi, ia patuh. “Kami mendengar dan kami patuh,” demikian firman Allah dalam QS. An-Nur: 51, yang dipegang teguh olehnya.

Sayang, pernikahan itu tak pernah terlaksana. Sebelum akad diucapkan, Julaibib gugur syahid di medan jihad. Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau melihat Julaibib di surga, bersama dua bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.

Kisah ini menegaskan: ketaatan membawa kebahagiaan, meski bukan di dunia, melainkan di akhirat.

Dari Serambi Nabawi ke Pesantren Nusantara

Ahlu Shuffah bukan hanya kisah masa lalu. Mereka adalah cikal bakal tradisi pesantren yang kita kenal hari ini.

Kata “pondok” berasal dari bahasa Arab funduq (فندوق), yang berarti penginapan sederhana. Sementara “pesantren” diyakini berasal dari kata “santri” (Sansakerta: shastri, orang pandai) atau dari kata Jawa “cantrik”, murid yang mengikuti guru.

Tradisi itu terus hidup. Pada masa tabi’in, Ar Rabi’ah ar Ra’yi bin Farrukh mendidik ribuan murid, termasuk Imam Malik. Dari Imam Malik lahir Imam Syafi’i. Bahkan di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, semangat Ahlu Shuffah masih menyala di Baghdad.

Warisan Ahlu Shuffah

Ahlu Shuffah meninggalkan warisan abadi: kesederhanaan, ilmu, dan jihad.

Mereka miskin harta, tetapi kaya iman. Mereka tak punya rumah, tapi Masjid Nabawi menjadi tempat tinggalnya. Mereka jauh dari keluarga, tapi Rasulullah SAW sendiri yang menanggung kebutuhan mereka.

Dari serambi kecil itu lahir peradaban ilmu yang sampai hari ini masih kita rasakan, terutama dalam tradisi pesantren Nusantara.

Ahlu Shuffah mengajarkan: dari ruang sederhana bisa lahir cahaya besar. Dari hidup miskin bisa lahir kekayaan iman. Dari pengasingan bisa lahir peradaban.

Wallahu a’lam.

Artikel ini dirangkum dari materi Tatsqif yang disampaikan oleh Ustadz Ghufron Azis Fuadi dalam kegiatan Tatsqif Yayasan Pemberdayaan Nusantara (YPN), Bandar Lampung, 14 September 2025. YPN