Masjid Raya Al-Bakrie Lampung: Bukan Sekadar Megah, Tapi Amanah Peradaban

Peresmian Masjid Raya Al-Bakrie membuka babak baru syiar Islam di Lampung. Tantangan sesungguhnya adalah menjadikannya pusat dakwah, sosial, dan persaudaraan umat.

LAMPUNGRELIGIBERITA

Novita Ria

9/13/20252 min read

Bandar Lampung kini punya wajah baru. Masjid Raya Al-Bakrie yang berdiri di atas lahan seluas 2,3 hektare dengan kapasitas lebih dari 12 ribu jamaah akhirnya diresmikan, Jumat (12/9/2025). Peresmian yang dihadiri Menteri Agama, Gubernur Lampung, Aburizal Bakrie, serta ribuan masyarakat ini menandai hadirnya ikon baru di Sai Bumi Ruwa Jurai.

Namun, di balik sorak-sorai peresmian, ada amanah besar yang menanti. Masjid ini bukan hanya bangunan monumental—ia harus menjelma sebagai masjid peradaban: pusat dakwah, pendidikan, sosial, sekaligus ruang publik yang benar-benar hidup bersama umat.

Antara Kemegahan dan Jejak Publik

Masjid Raya Al-Bakrie menggantikan GOR Saburai, ruang olahraga publik yang punya sejarah bagi warga kota. Tak heran muncul kritik: apakah Lampung kehilangan satu ruang sosial demi sebuah bangunan megah?

Justru di sinilah tantangannya. Jika dikelola dengan bijak, masjid ini bisa menghadirkan lebih banyak manfaat. Plaza luas, taman hijau, hingga ruang serbaguna dapat menjadi wadah berkumpul, belajar, bahkan ruang interaksi lintas generasi. Dengan begitu, publik tidak merasa kehilangan—sebaliknya, mendapatkan ruang baru yang lebih kaya fungsi.

Jamaah sholat Jum'at di hari peresmian Masjid Raya Al Bakrie

Dakwah yang Merangkul

Sejak masa Rasulullah, masjid bukan sekadar tempat ibadah, tetapi jantung kehidupan umat. Tantangan hari ini adalah menghadirkan dakwah yang mendamaikan, mencerdaskan, dan merangkul semua kalangan.

Masjid Raya Al-Bakrie punya fasilitas untuk itu. Bayangkan bila di sini rutin hadir kajian lintas generasi, kelas mengaji anak-anak, literasi digital Islami, hingga layanan sosial untuk dhuafa. Dakwah tak berhenti di mimbar, tapi hadir dalam kehidupan nyata.

Amanah Pengelolaan

Banyak masjid raya di Indonesia berdiri megah, lalu menghadapi masalah klasik: biaya operasional, perawatan, dan manajemen. Agar hal itu tak terulang, pengelolaan Masjid Raya Al-Bakrie harus:

  • Profesional → ditangani tim dengan keahlian dan sistem yang jelas.

  • Transparan → keuangan dan kegiatan dilaporkan terbuka.

  • Partisipatif → melibatkan masyarakat sekitar agar rasa memiliki tumbuh kuat.

Hanya dengan cara ini, masjid benar-benar menjadi rumah bersama, bukan sekadar simbol prestise.

Wisata Religi & Harapan Ekonomi

Pemerintah daerah berharap masjid ini menjadi magnet wisata religi. Jika berjalan baik, dampaknya akan dirasakan masyarakat: dari UMKM kuliner, pedagang kecil, hingga sektor jasa.

Namun, pariwisata religi harus tetap menjaga ruh masjid. Ibadah tetap nomor satu, sementara wisatawan diposisikan sebagai tamu yang belajar tentang Islam sekaligus budaya Lampung. Inilah keseimbangan yang harus dijaga.

Dari Simbol ke Peradaban

Masjid Raya Al-Bakrie adalah anugerah sekaligus amanah. Ia bisa berhenti sebagai monumen indah, atau tumbuh menjadi masjid peradaban: pusat ibadah yang khusyuk, dakwah yang mencerahkan, ruang sosial yang merangkul, serta ikon kota yang membanggakan.

Potensi konflik dan kritik tentu ada—dari jejak GOR Saburai hingga isu politisasi. Tapi alih-alih melihatnya sebagai penghalang, mari memaknainya sebagai pengingat agar pengelolaan masjid lebih transparan, inklusif, dan berpihak pada umat.

Kini, bola ada di tangan kita semua: pemerintah, pengelola, ulama, dan masyarakat. Jika bersama-sama kita merawat dan menghidupkan masjid ini, Masjid Raya Al-Bakrie benar-benar akan jadi cahaya baru di Lampung—cahaya dakwah yang menuntun, bukan sekadar lampu hias yang menyilaukan.

Artikel Terkait