Mengapa Dunia Harus Membela Palestina: Sebuah Analisis Kemanusiaan

Palestina bukan sekadar konflik politik, melainkan tragedi kemanusiaan panjang yang menuntut perhatian dunia. Dari Nakbah 1948 hingga blokade Gaza hari ini, jutaan rakyat Palestina kehilangan tanah, kebebasan, dan masa depan. Artikel ini membahas realitas sejarah, krisis kemanusiaan, pelanggaran hukum internasional, serta mengapa membela Palestina adalah kewajiban moral seluruh umat manusia.

SUDUT PANDANG

Novita

8/25/20253 min read

Pendahuluan

Palestina adalah salah satu tragedi kemanusiaan paling panjang di abad modern. Sejak berdirinya negara Israel tahun 1948, rakyat Palestina mengalami pengusiran massal, kehilangan tanah, dan penindasan sistematis. Berbeda dengan konflik lain yang bersifat sementara, masalah Palestina telah berlangsung lebih dari 75 tahun tanpa penyelesaian adil. Dari perspektif hak asasi manusia, Palestina adalah contoh nyata bagaimana hukum internasional diabaikan demi kepentingan politik global.

Membela Palestina bukan hanya urusan agama atau ideologi politik, melainkan kewajiban kemanusiaan universal. Esai ini akan membahas lima alasan pokok mengapa dunia harus berpihak pada Palestina: hak dasar manusia, kolonialisme modern, krisis kemanusiaan, pelanggaran hukum internasional, dan solidaritas moral.

1. Hak Dasar Manusia yang Dirampas

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan. Namun sejak peristiwa Nakbah 1948, lebih dari 750.000 warga Palestina terusir dari rumahnya dan menjadi pengungsi. Saat ini, menurut data UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina), jumlah pengungsi Palestina mencapai lebih dari 5,9 juta orang yang tersebar di kamp-kamp di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, Suriah, dan Yordania.

Generasi demi generasi tumbuh tanpa tanah air, tanpa kewarganegaraan yang sah, dan tanpa kepastian masa depan. Mereka bukan sekadar angka statistik; mereka adalah manusia yang hak dasarnya dirampas sejak lahir.

2. Penjajahan dan Kolonialisme Modern

Di era pasca-kolonial, hampir semua bangsa memperoleh kemerdekaan. Namun Palestina tetap menjadi korban kolonialisme modern. Israel bukan hanya berdiri di atas tanah yang direbut, tetapi juga terus memperluas wilayah dengan membangun permukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Menurut laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), ada lebih dari 700.000 pemukim Yahudi yang tinggal di permukiman ilegal. Setiap perluasan permukiman berarti penghancuran rumah warga Palestina, pengusiran keluarga, dan perampasan lahan pertanian.

Praktik ini mirip dengan kolonialisme klasik, hanya saja dilakukan di abad ke-21 dengan dukungan teknologi militer canggih.

3. Krisis Kemanusiaan di Gaza

Gaza adalah wilayah paling padat di dunia, dihuni lebih dari 2,3 juta orang. Sejak 2007, Gaza hidup di bawah blokade total oleh Israel, dibatasi akses makanan, air bersih, listrik, bahan bakar, hingga obat-obatan. Amnesty International menyebut Gaza sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia”.

Serangan militer berulang kali menghantam wilayah kecil ini. Pada perang 2014, lebih dari 2.200 warga Palestina tewas, termasuk 551 anak-anak (data PBB). Pada agresi 2023–2024, jumlah korban melonjak drastis hingga puluhan ribu jiwa, mayoritas perempuan dan anak-anak.

Blokade dan serangan ini adalah bentuk hukuman kolektif, yang dilarang keras oleh hukum internasional. Tidak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan penderitaan berjuta orang hanya karena identitas kebangsaan mereka.

4. Pelanggaran Terhadap Hukum Internasional

Israel telah berulang kali melanggar hukum internasional:

  • Resolusi PBB 194 (1948): mengakui hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah mereka. Hingga kini, hak itu diabaikan.

  • Resolusi Dewan Keamanan 242 (1967): menuntut Israel mundur dari wilayah yang diduduki pasca perang, termasuk Tepi Barat dan Gaza. Tidak pernah dipatuhi.

  • Konvensi Jenewa (1949): melarang pengusiran paksa dan permukiman di tanah jajahan. Israel melanggar ini setiap hari dengan pembangunan permukiman ilegal.

  • Laporan Amnesty International (2022): menyatakan bahwa Israel melakukan sistem apartheid terhadap rakyat Palestina, yakni pemisahan, diskriminasi, dan dominasi berdasarkan identitas etnis.

Dengan kata lain, Palestina adalah contoh nyata bagaimana hukum internasional bisa dilecehkan ketika pelanggarnya didukung oleh kekuatan global.

5. Solidaritas Moral dan Universal

Membela Palestina bukan soal agama tertentu. Banyak aktivis Kristen, Yahudi anti-Zionis, dan ateis di seluruh dunia juga berdiri untuk Palestina. Mengapa? Karena inti persoalan adalah kemanusiaan dan keadilan.

Diam terhadap penderitaan Palestina sama dengan membiarkan prinsip dasar kemanusiaan runtuh. Jika dunia membiarkan jutaan orang hidup tanpa hak, maka semua komitmen kita terhadap hak asasi hanyalah retorika kosong.

Kesimpulan

Palestina adalah luka panjang dalam sejarah modern. Mereka terusir dari tanahnya, hidup di bawah penjajahan, menderita krisis kemanusiaan, dan terus menjadi korban pelanggaran hukum internasional.

Dunia tidak boleh menutup mata. Membela Palestina berarti membela hak dasar manusia, menolak kolonialisme, menegakkan hukum internasional, dan menjaga integritas nilai kemanusiaan itu sendiri.

Selama Palestina belum merdeka, kita tidak hanya menyaksikan tragedi sebuah bangsa, tetapi juga kegagalan moral umat manusia secara keseluruhan.

Artikel Terkait