Palestina dan Al-Quds dalam Lintasan Sejarah”
Telusuri sejarah Palestina dan Al-Quds sejak Nabi Ibrahim hingga masa kini — tanah para nabi, sumber peradaban, dan simbol abadi perjuangan tauhid serta kemanusiaan.
DUNIA ISLAMRELIGISEJARAH
Tim Redaksi
10/4/202513 min read


Dari tanah Ur di Mesopotamia—wilayah yang kini termasuk Irak selatan— seorang pemuda bernama Ibrahim menatap langit malam dengan hati yang gelisah. Di tengah bintang yang berkelip, ia mencari Tuhan sejati di balik segala cahaya.
Saat kaumnya bersujud kepada berhala, Ibrahim menolak. Ia menghancurkan patung-patung itu dan menegakkan kalimat Lā ilāha illallāh di tengah tirani kekuasaan Raja Namrudz. Murka pun meledak; Ibrahim dilempar ke kobaran api. Namun Allah berfirman:
“Wahai api, jadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.”
— (QS. Al-Anbiya’: 69)
Api itu menjadi sejuk, iman pun menjadi nyala yang abadi.
Sejak saat itu, Ibrahim tahu: kebenaran tidak lahir dari kekuasaan, tetapi dari keyakinan.
Bersama istrinya Sarah dan keponakannya Luth, ia meninggalkan negerinya menuju barat, melintasi lembah Efrat hingga tiba di negeri yang Allah sebut “diberkahi bagi seluruh alam” — wilayah Syam, yang kini meliputi Palestina, Suriah, dan Yordania.
Dalam perjalanan mereka singgah di Mesir. Seorang raja zalim mencoba menodai kehormatan Sarah, tetapi setiap kali ia mendekat, tangannya lumpuh dan ketakutan menguasainya. Sang raja akhirnya menyerah, memohon ampun, dan menghadiahkan kepada Sarah seorang wanita salehah bernama Hajar.
Hajar bukan sekadar pelayan, melainkan wanita mulia. Kelak Hajar diperistri Ibrahim, kemudian melahirkan Ismail, sementara Sarah melahirkan Ishaq. Dari Ismail kelak lahir Rasulullah ﷺ di Makkah, dan dari Ishaq lahir Ya‘qub — leluhur Bani Israil — di Palestina.
Dua garis keturunan ini menyatu dalam satu risalah: tauhid kepada Allah Yang Esa.
Ketika Ibrahim menjejakkan kaki di tanah Palestina, sejarah baru umat manusia dimulai.
Di negeri inilah para nabi akan lahir, risalah akan bergulir, dan peradaban akan diuji oleh iman dan keadilan.
Dari tanah inilah — segalanya bermula.
Jejak sejarah Palestina jauh lebih tua dari peta dan perbatasan manusia.
Wilayah ini telah menjadi rumah bagi peradaban besar sejak ribuan tahun sebelum Masehi — negeri tempat para nabi berjalan, tempat doa dan darah bercampur di bawah langit yang sama.
1. Masa Pra-Nabi dan Awal Peradaban
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa Palestina telah dihuni sejak lebih dari 7.000 tahun sebelum Masehi.
Bangsa Kanaan, keturunan Semit (Arab kuno-dari keturunan Sam Bin Nuh), merupakan penduduk awal wilayah ini. Mereka menetap di lembah Yordan dan dataran pesisir yang subur.
Salah satu cabang Kanaan, Bangsa Yebus (Jebusit), mendirikan kota Yebus sekitar 3000 SM, yang kelak dikenal sebagai Yerusalem (Uru-Syalim / Ur-Salem). Kata Salem berarti damai, menandakan bahwa kota ini sejak awal dimaksudkan sebagai tempat ibadah dan kedamaian.
Kota itu kemudian dikenal dalam bahasa Arab sebagai Al-Quds — kota suci yang menjadi pusat spiritual tiga agama samawi: Islam, Kristen, dan Yahudi.


2. Zaman Para Nabi
Nabi Ibrahim ‘alaihissalām: Awal Jejak Tauhid di Tanah Berkah
Sekitar tahun 1900 SM, Nabi Ibrahim menetap di Hebron (Al-Khalil), di wilayah selatan Palestina.
Beliau menyeru penduduk sekitar agar kembali kepada Allah. Dari sanalah risalah tauhid berkembang ke seluruh penjuru negeri Syam.
Dari Ibrahim lahir dua jalur keturunan agung:
Ismail, yang menetap di Makkah dan kelak menjadi leluhur Nabi Muhammad ﷺ.
Ishaq, yang tinggal di Palestina dan menurunkan Nabi Ya‘qub (Israil), lalu Nabi Yusuf.
“Sesungguhnya Kami telah memberkahi dia (Ibrahim) dan Ishaq, dan dari keturunannya ada yang berbuat baik dan ada pula yang menzalimi dirinya sendiri.”
— (QS. As-Shaffat: 113)
Nabi Ishaq, Ya‘qub, dan Yusuf ‘alaihimassalām
Nabi Ishaq (‘alaihis-salām) melanjutkan dakwah ayahnya di tanah suci Palestina.
Putranya, Ya‘qub (Israil), menjadi sosok yang melahirkan dua belas kabilah Bani Israil.
Dari keturunan Ya‘qub lahirlah Nabi Yusuf (‘alaihis-salām) yang kemudian hijrah ke Mesir setelah kisah pengkhianatan saudara-saudaranya.
Ketika Yusuf menjadi penguasa di Mesir, keluarga Ya‘qub berpindah ke sana, memulai babak baru kehidupan Bani Israil di negeri itu.
Nabi Musa ‘alaihissalām: Seruan untuk Kembali ke Tanah Suci
Sekitar tahun 1200 SM, Nabi Musa diutus untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan Fir‘aun.
Setelah mukjizat terbelahnya laut, Musa memimpin kaumnya menuju tanah suci (Palestina), yang disebut Allah sebagai al-ardh al-muqaddasah.
Namun mereka menolak perintah Allah karena takut berperang.
Sebagai akibat dari kedurhakaan itu, Allah menghukum mereka untuk tersesat di Padang Tih, di wilayah antara Sinai dan Palestina, selama 40 tahun hingga generasi lama binasa.
Setelah Musa wafat, tugas itu dilanjutkan oleh Yusha‘ bin Nun, murid setianya, yang akhirnya membawa Bani Israil masuk ke Palestina.
Nabi Daud dan Sulaiman ‘alaihimassalām: Masa Keemasan Palestina
Sekitar tahun 1000 SM, Nabi Daud (‘alaihis-salām) menaklukkan kota Yerusalem (Al-Quds) dari bangsa Yebus dan menjadikannya ibu kota kerajaannya.
Putranya, Nabi Sulaiman (‘alaihis-salām), melanjutkan risalah tauhid itu dan membangun kembali Baitul Maqdis, yang dikenal dalam literatur Barat sebagai Temple of Solomon.
Baitul Maqdis bukan hanya pusat ibadah, tapi juga pusat ilmu, keadilan, dan pemerintahan yang berlandaskan wahyu.
Di masa ini, Palestina berada pada puncak kejayaannya — masa di mana wahyu dan peradaban berjalan beriringan.
Catatan tambahan:
Para ulama menyebut bahwa Masjid Al-Aqsa pertama kali ditetapkan tempatnya sejak masa Nabi Adam ‘alaihissalām, kemudian dipugar oleh Nabi Sulaiman (‘alaihissalām) sebagai pusat ibadah dan dakwah.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Masjidil Haram dibangun pertama kali, kemudian Masjid Al-Aqsa empat puluh tahun sesudahnya.” (HR. al-Bukhari, Muslim).
Perbedaan waktu ini bukan perhitungan tahun fisik, tetapi penegasan kesinambungan risalah tauhid.


3 · Pasca Nabi Sulaiman: Zaman Perpecahan dan Pengasingan
Setelah Nabi Sulaiman ‘alaihissalām wafat, kemuliaan kerajaan tauhid di Palestina mulai meredup. Keagungan yang dulu dibangun di atas dasar wahyu bergeser menjadi perebutan kekuasaan. Rakyat terbelah, dan kerajaan yang dahulu satu kini pecah menjadi dua bagian:
Kerajaan Israel di utara, terdiri dari sepuluh suku Bani Israel, berpusat di Samaria.
Kerajaan Yehuda di selatan, terdiri dari dua suku — Yehuda dan Benyamin — dengan Yerusalem sebagai ibu kota.
Perpecahan ini bukan sekadar politik, tetapi juga spiritual. Tauhid yang diajarkan para nabi perlahan terkikis oleh penyimpangan dan kecintaan pada dunia. Inilah awal masa yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai fasad fi al-ardh — kerusakan di muka bumi.
Kehancuran Baitul Maqdis dan Pembuangan ke Babilonia
Pasca wafatnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalām, dan tepecahnya kerajaan tauhid, ketaatan kini berganti kesombongan. Hukum Allah diabaikan, dan sebagian Bani Israil menyimpang dari ajaran para nabi.
Mereka mencampur-adukkan kebenaran dengan kebatilan, hingga rumah suci yang dahulu dijaga dengan doa, berubah menjadi tempat formalitas yang hampa ruhnya.
Maka terjadilah apa yang telah Allah tetapkan dalam firman-Nya:
“Dan Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: Sesungguhnya kamu akan berbuat kerusakan di bumi ini dua kali, dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar.”
— (QS. Al-Isrā’: 4)
Ayat ini menjadi nubuwah tentang dua masa kehancuran besar yang akan menimpa mereka.
Yang pertama terjadi pada masa Raja Nebukadnezar II dari Babilonia.
Pada tahun 586 sebelum Masehi, pasukan Babilonia menyerbu Yerusalem, menjarah kota suci, dan menghancurkan Baitul Maqdis
Kota itu dibakar, dinding-dindingnya diruntuhkan, dan perabotnya dibawa ke Babilonia.
Ribuan orang terbunuh, sementara sisanya dijadikan tawanan.
Peristiwa ini dikenal sebagai Pembuangan ke Babilonia (The Babylonian Exile), yang oleh para mufassir disebut sebagai fasād al-awwal—kerusakan pertama yang menimpa mereka akibat berpaling dari perintah Allah.
Selama hampir setengah abad, Yerusalem menjadi kota mati.
Tempat yang dahulu menjadi pusat cahaya wahyu kini sunyi dan ditinggalkan.
Namun rahmat Allah selalu lebih luas daripada murka-Nya.
Ketika masa ujian itu usai, Allah menumbuhkan harapan baru melalui bangsa lain yang datang membawa keadilan.
Kembalinya Bani Israil dan Rumah Ibadah Kedua
Sekitar tahun 539 SM, kerajaan Babilonia ditaklukkan oleh bangsa Persia di bawah kepemimpinan Raja Koresh (Cyrus Agung).
Berbeda dengan para penakluk sebelumnya, Cyrus dikenal sebagai raja yang adil dan menghargai kebebasan beragama.
Ia mengeluarkan dekrit kerajaan yang mengizinkan bangsa Yahudi kembali ke tanah suci Palestina dan membangun kembali rumah ibadah mereka di Yerusalem.
Pembangunan itu dipimpin oleh Zerubabel bin Syaltiel, keturunan Nabi Daud, dengan bimbingan spiritual Uzair (‘alaihis-salām), yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai seorang nabi atau ulama besar yang menghidupkan kembali ajaran Taurat setelah masa panjang keterasingan.
Bangunan baru itu dikenal dalam sejarah sebagai Bait Suci Kedua (The Second Temple), dan dalam pandangan Islam, ia merupakan bagian dari kawasan suci Baitul Maqdis—wilayah yang diberkahi Allah sejak masa Nabi Ibrahim hingga Nabi Muhammad ﷺ.
Pembangunan rumah ibadah itu selesai sekitar 515 SM, menandai kebangkitan spiritual Bani Israil.
Namun, seiring waktu, sebagian dari mereka kembali terjebak dalam kesombongan yang sama: menjadikan kesucian sebagai simbol kebanggaan, bukan pengabdian.
Maka, sebagaimana sunnatullah berlaku atas semua umat, ketika kezaliman muncul lagi, kehancuran pun datang kembali.
Makna “Kerusakan Kedua” dalam Cahaya Al-Qur’an
Para mufassir menjelaskan bahwa janji Allah kepada Bani Israil dalam surah Al-Isrā’ bukan sekadar kisah masa lalu, melainkan pola sejarah yang berulang.
Ketika mereka taat, Allah menolong.
Ketika sombong dan berbuat zalim, Allah turunkan hukuman-Nya.
Sebagian ulama klasik berpendapat bahwa fasād ats-tsānī—kerusakan kedua—terjadi ketika tentara Romawi menghancurkan Yerusalem pada tahun 70 M.
Namun sebagian ulama masa kini memandang bahwa ayat ini juga mencerminkan keadaan umat manusia di zaman modern, ketika tanah suci kembali dikuasai oleh kesombongan, penindasan, dan kezaliman.
“Apabila datang janji yang kedua, (Kami datangkan musuh-musuhmu) untuk menyuramkan wajah-wajah kalian, dan agar mereka memasuki masjid sebagaimana dahulu mereka memasukinya, serta membinasakan apa saja yang mereka kuasai.”
— (QS. Al-Isrā’: 7)
Dengan demikian, janji Allah itu bersifat abadi: setiap kezaliman di tanah yang diberkahi pasti akan berakhir dengan keadilan.
Bagi orang-orang beriman, ayat ini bukan sekadar sejarah, melainkan peringatan dan harapan—bahwa cahaya kebenaran akan selalu kembali bersinar di atas bumi para nabi.
Penaklukan dan Pergantian Kekuasaan: Ujian Berulang di Tanah Para Nabi
Setelah masa kembalinya sebagian Bani Israil ke Yerusalem dan dibangunnya kembali rumah ibadah, tanah Palestina terus menjadi saksi pergiliran kekuasaan antar bangsa.
Sejarah dunia mencatat, setelah Persia, datang kekuasaan Yunani di bawah Iskandar (Alexander) al-Maqduni, lalu disusul oleh kekuasaan Romawi.
Namun dari sudut pandang Islam, semua pergantian itu bukan sekadar politik, melainkan bagian dari sunnatullah — pergiliran antara ketaatan dan kesombongan, antara iman dan kedurhakaan.
Setiap kali manusia menjauh dari tauhid, Allah menggantikan mereka dengan kaum lain yang lebih adil.
“Dan Kami gantikan kaum yang lain untuk menggantikan mereka.”
— (QS. Al-An‘ām: 6)
Masa kekuasaan Romawi menandai babak baru.
Kota Yerusalem dikuasai, hukum-hukum Allah dilupakan, dan rumah ibadah dijadikan simbol kekuasaan duniawi.
Dalam kegelapan itu, Allah menumbuhkan kembali cahaya wahyu melalui kelahiran seorang nabi mulia.


4 · Masa Nabi Isa ‘alaihissalām: Cahaya Kelembutan di Tengah Kekuasaan Romawi
Sekitar tahun 4 SM, di kota kecil Bait Lahm (Bethlehem) yang terletak di selatan Yerusalem, lahirlah seorang bayi suci dari rahim Maryam, wanita yang dipilih Allah.
Ia adalah Nabi Isa ‘alaihissalām, utusan Allah yang datang untuk meluruskan kembali ajaran tauhid di tengah bangsa yang telah jauh dari wahyu.
“(Ingatlah) ketika para malaikat berkata: ‘Wahai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakanmu dengan kalimat daripada-Nya, namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang yang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).’”
— (QS. Ali Imran: 45)
Nabi Isa berdakwah di Yerusalem, Nazaret, dan Galilea, mengajak umat kembali kepada hukum Allah dengan kelembutan dan mukjizat. Ia menyembuhkan yang buta, menghidupkan yang mati dengan izin Allah, namun seruannya ditentang keras oleh sebagian kaum Yahudi yang bersekongkol dengan penguasa Romawi.
Mereka menuduh Isa sebagai pembangkang dan bersekongkol untuk menyalibnya. Tetapi Allah menegaskan:
“Mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi yang diserupakan bagi mereka.”
— (QS. An-Nisa’: 157)
Allah mengangkat Nabi Isa ke langit, dan menjanjikan akan menurunkannya kembali di akhir zaman untuk menegakkan keadilan.
Setelah kepergian Isa, ajarannya mengalami perubahan.
Pada abad ke-4 M, Kaisar Romawi Konstantin memeluk agama Kristen dan menjadikan Yerusalem sebagai pusat keagamaan baru. Di masa inilah dibangun Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre) di Yerusalem, yang hingga kini menjadi salah satu situs suci umat Kristiani.


5 · Masa Islam: Kembalinya Cahaya Tauhid ke Baitul Maqdis
Setelah masa Nabi Isa ‘alaihissalām, wahyu terhenti selama berabad-abad.
Tanah Palestina berada di bawah kekuasaan Romawi, dan ajaran para nabi perlahan dilupakan.
Namun Allah tidak membiarkan bumi-Nya tanpa petunjuk.
Di jazirah Arab yang gersang, di antara padang dan batu, terbitlah cahaya baru — cahaya kenabian terakhir.
Risalah Nabi Muhammad ﷺ dan Isra’ Mi‘raj
Pada usia empat puluh tahun, Muhammad bin ‘Abdullah ﷺ menerima wahyu pertama di Gua Hira, menandai lahirnya risalah Islam — risalah tauhid yang menyempurnakan ajaran semua nabi sebelumnya.
Beberapa tahun kemudian, Allah memuliakannya dengan perjalanan luar biasa: Isra’ dan Mi‘raj.
“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
— (QS. Al-Isrā’: 1)
Dalam peristiwa ini, Rasulullah ﷺ diperjalankan dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjid Al-Aqsa di Baitul Maqdis (Yerusalem).
Dari sanalah beliau naik ke langit (Mi‘raj) untuk menerima perintah salat, ibadah yang menjadi penopang seluruh agama.
Isra’ Mi‘raj bukan hanya mukjizat perjalanan, tetapi juga isyarat ruhani bahwa risalah Islam adalah kelanjutan dari risalah para nabi terdahulu.
Karena itulah Rasulullah ﷺ menjadi imam bagi seluruh nabi di Masjid Al-Aqsa, menandakan bahwa ajaran mereka bermuara pada satu titik: tauhid kepada Allah Yang Esa.
“Para nabi itu bersaudara seayah, ibu mereka berbeda-beda, tetapi agama mereka satu.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
Penaklukan Damai oleh Umar bin Khattab
Setelah Rasulullah ﷺ wafat, Islam berkembang pesat di bawah kepemimpinan para khalifah.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallāhu ‘anhu, Allah menakdirkan pembebasan kembali Baitul Maqdis.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 15 Hijriyah / 636 M, di masa perang antara kaum Muslimin dan Kekaisaran Bizantium.
Ketika pasukan Islam tiba di Yerusalem, penduduk setempat — yang kebanyakan Nasrani — memilih menyerah secara damai.
Mereka menolak menyerahkan kunci kota kecuali kepada khalifah sendiri.
Maka Umar datang dari Madinah, menempuh perjalanan panjang dengan pakaian tambalan, menunggang unta bergantian dengan pelayannya.
Begitu memasuki kota suci, Umar tidak menampilkan kekuasaan, tetapi kerendahan hati.
Ia menolak salat di dalam gereja Church of the Holy Sepulchre, khawatir nanti umat Islam menjadikannya masjid.
Sebagai gantinya, ia salat di tanah kosong di dekatnya — di tempat itulah kelak dibangun Masjid Umar.
Umar lalu menandatangani Piagam ‘Umariyah, dokumen yang menjamin kebebasan beragama bagi seluruh penduduk Yerusalem:
umat Kristen, Yahudi, dan Muslim hidup berdampingan di bawah naungan keadilan Islam.
“Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.”
— (QS. Al-Baqarah: 256)
Inilah pembebasan paling damai dalam sejarah panjang Yerusalem.
Tidak ada darah tertumpah, tidak ada pengusiran, tidak ada penghancuran rumah ibadah.
Yang hadir hanyalah kemenangan iman dan keadilan
Setelah penaklukan damai oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. pada tahun 15 H / 636 M, Baitul Maqdis (Yerusalem) menjadi bagian dari Daulah Islamiyah.
Kota suci itu dijaga dan dimuliakan, bukan hanya karena nilai sejarahnya, tetapi karena peran spiritualnya sebagai Masjid ketiga yang dimuliakan setelah Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
“Tidaklah seseorang melakukan perjalanan jauh kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsa.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
Masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah
Setelah Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah (661–750 M) menjadikan Yerusalem sebagai kota penting.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan membangun Qubbah Asy-Sakhrah (Dome of the Rock) di atas batu tempat Nabi ﷺ Mi‘raj ke langit, dan putranya Al-Walid bin Abdul Malik memperindah Masjid Al-Aqsa.
Pemerintahan Islam saat itu membawa masa keemasan — ilmu, arsitektur, dan ibadah berkembang pesat.
Pada masa Abbasiyah (750–1258 M), Yerusalem tetap dijaga dan dihormati sebagai kota suci umat Islam, tempat ilmu dan zikir tumbuh berdampingan.
Perang Salib dan Kebesaran Shalahuddin Al-Ayyubi
Ketika kekuasaan Abbasiyah melemah, pasukan Eropa datang pada akhir abad ke-11 dengan mengibarkan panji Perang Salib.
Mereka menguasai Yerusalem pada tahun 1099 M, dan perang panjang pun terjadi.
Sekitar 88 tahun kemudian, Allah menakdirkan lahirnya pemimpin besar: Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (1137–1193 M).
Dengan keberanian, kecerdasan, dan akhlak yang lembut, ia berhasil menyatukan kaum Muslimin dan merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M.
Kemenangannya dikenal bukan karena kekuatan senjata, tapi karena jiwa kemanusiaan dan rahmat yang ia tunjukkan.
Tidak ada pembalasan dendam; semua rumah ibadah dijaga, warga Nasrani dilindungi, dan kota suci itu dibersihkan dari darah dan dendam.
“Kita datang bukan untuk menghancurkan, tapi untuk memperbaiki.”
— (Shalahuddin Al-Ayyubi)
Kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi dunia — bahwa kekuatan sejati lahir dari iman, dan kedamaian adalah buah dari keadilan.
Masa Mamluk dan Utsmani: Penjaga Warisan Suci
Setelah Ayyubiyah melemah, kekuasaan berpindah ke tangan Dinasti Mamluk (1250–1517 M).
Mereka dikenal gigih mempertahankan Baitul Maqdis dan memperindah kembali Al-Aqsa, membangun madrasah dan zawiyah untuk para ulama dan penuntut ilmu.
Kemudian datang Khilafah Turki Utsmani (Ottoman), yang berkuasa lebih dari empat abad (1517–1917 M).
Di masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni, Yerusalem diperindah, dikelilingi tembok yang masih berdiri hingga kini, dan dijadikan kota yang aman bagi seluruh penganut agama samawi.
Selama masa ini, Al-Quds hidup dalam damai, dihormati oleh umat Islam, Nasrani, dan Yahudi di bawah naungan hukum Islam.
Inilah masa terpanjang stabilitas Yerusalem — masa ketika keadilan Islam menjelma dalam tatanan masyarakat.
Menjelang Ujung Kekuasaan
Namun sebagaimana sunnatullah, setiap kejayaan memiliki senja.
Memasuki abad ke-19, Turki Utsmani melemah, dan kekuatan kolonial Eropa mulai mengintai wilayah Syam dan Palestina.
Langit Al-Quds kembali mendung — pertanda datangnya babak baru dalam sejarah: era penjajahan modern.
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia agar mereka mengambil pelajaran.”
— (QS. Āli ‘Imrān: 140)


6 · Era Modern dan Penjajahan: Awal Luka Panjang Palestina
Runtuhnya Daulah Islam dan Awal Penguasaan Barat
Pada tahun 1917 M, sejarah Palestina memasuki babak paling kelam.
Setelah lebih dari tujuh abad di bawah naungan Kesultanan Utsmani, kekalahan Turki dalam Perang Dunia I membuat Palestina jatuh ke tangan Inggris.
Bukannya memelihara perdamaian, Inggris justru mengeluarkan sebuah keputusan yang mengguncang dunia Islam — Deklarasi Balfour.
Dalam surat yang dikirim oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, kepada tokoh Yahudi Lord Rothschild, dinyatakan bahwa pemerintah Inggris mendukung pendirian “tanah air bagi bangsa Yahudi” di Palestina.
Deklarasi singkat itu, hanya satu halaman, tetapi akibatnya menjalar hingga seabad kemudian.
Tanah yang selama berabad-abad menjadi rumah damai bagi Muslim, Kristen, dan Yahudi berubah menjadi medan konflik kolonial.
Deklarasi Balfour juga makin mendorong imigrasi masif etnis Yahudi ke Palestina. Populasi Yahudi melonjak drastis sejak itu, dari 5 persen menjadi 30 persen pada 1935.
Pembagian Sepihak dan Lahirnya Tragedi Nakbah
Tiga puluh tahun setelah itu, pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara — satu untuk Yahudi, satu untuk Arab Palestina.
Rencana ini ditolak oleh bangsa Arab karena dianggap tidak adil:
orang Yahudi yang saat itu hanya memiliki sekitar 6% tanah Palestina, diberikan lebih dari 55% wilayah oleh keputusan PBB.
Setahun kemudian, pada 14 Mei 1948, pemimpin Zionis David Ben-Gurion memproklamasikan berdirinya negara Israel.
Sehari setelahnya, pasukan Inggris meninggalkan wilayah itu — dan tragedi besar pun dimulai.
Lebih dari 750.000 rakyat Palestina diusir dari rumah mereka.
Ratusan desa dibakar, masjid dan kebun zaitun dihancurkan.
Tragedi itu dikenang oleh bangsa Palestina sebagai “Al-Nakbah” — bencana besar.
1967: Naksa — Kekalahan yang Meluas
Dua dekade setelah Nakbah, dunia Arab kembali terguncang.
Dalam perang enam hari (5–10 Juni 1967), Israel menyerang beberapa negara Arab sekaligus dan merebut wilayah-wilayah penting:
Yerusalem Timur, tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa,
Tepi Barat,
Jalur Gaza,
Semua Semenanjung Sinai,
serta Dataran Tinggi Golan di Suriah.
Peristiwa ini dikenal sebagai Al-Naksa — artinya kemunduran atau kekalahan besar.
Masjid Al-Aqsa pun jatuh di bawah pendudukan Israel.
Namun di sisi lain, semangat perjuangan rakyat Palestina justru menyala lebih terang.
Intifada: Perlawanan yang Lahir dari Hati
Tahun 1987, di Jalur Gaza yang tercekik, rakyat Palestina bangkit dalam gerakan rakyat besar-besaran yang disebut Intifada — artinya “kebangkitan” atau “guncangan”.
Anak-anak muda melempar batu melawan tank, bukan karena kebencian, tetapi karena hasrat untuk hidup merdeka di tanah sendiri.
Gelombang kedua Intifada meletus pada tahun 2000, dipicu oleh penodaan terhadap Masjid Al-Aqsa.
Dari dua Intifada ini lahir generasi baru perjuangan, yang percaya bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hak yang dijaga dengan kesabaran dan iman.
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya, mendapat rezeki.”
— (QS. Ali Imran: 169)
2008–2025: Gaza dan Luka Kemanusiaan Dunia
Dalam dua dekade terakhir, wilayah Gaza menjadi simbol keteguhan hati.
Sejak tahun 2008, serangan demi serangan dilakukan oleh militer Israel, menghancurkan rumah, sekolah, dan rumah sakit, sementara dunia hanya bisa menyaksikan dari jauh.
Puncaknya terjadi pada 2023–2025, ketika agresi militer menelan puluhan ribu korban sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Namun, di balik reruntuhan itu, ada sesuatu yang tidak pernah bisa dihancurkan: keyakinan bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya.
“Janganlah kamu merasa lemah dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamulah yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu beriman.”
— (QS. Ali Imran: 139)


Kesimpulan: Tanah Para Nabi, Amanah Seluruh Umat
Sejarah panjang Palestina adalah cermin perjalanan manusia mencari kebenaran.
Ia menyimpan kisah para nabi yang menyeru kepada tauhid, sekaligus kisah umat yang menguji batas kesabaran dan keadilan.
Dari kaum Kanaan kuno hingga zaman modern, dari Ibrahim hingga Muhammad ﷺ, dari Masjidil Haram hingga Masjid Al-Aqsa — seluruh rentang waktu ini menunjukkan satu pesan:
bahwa Palestina bukan sekadar tanah, melainkan amanah risalah.
Artikel Terkait
Berita dan artikel dengan perspektif inklusif.
Komunitas
Info Terkini
redaksi@tapisdigital.id
+62 895-1440-2290
© 2025. All rights reserved.
