Jangan Terkecoh! Bagaimana Pencitraan Digital Membentuk Realitas di Media Sosial
Pelajari bagaimana pencitraan digital memengaruhi persepsi kita di media sosial, dari influencer hingga politisi, dan belajar mengenali mana yang nyata dan mana yang manipulatif.
LITERASI DIGITAL
9/6/20252 min read


Pendahuluan
Menurut survei We Are Social & Hootsuite 2025, rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 3 jam per hari di media sosial. Di era ini, apa yang kita lihat—foto liburan mewah, testimoni produk, atau postingan politisi—tidak selalu mencerminkan kenyataan.
Pencitraan digital menjadi arena di mana setiap orang bisa menampilkan versi terbaik dirinya. Dari influencer yang tampak selalu bahagia hingga politisi yang terlihat dekat dengan rakyat, semua bisa memengaruhi persepsi publik. Tapi, apakah semua itu nyata, atau hanya efek strategi digital?
Branding Positif: Citra yang Menginspirasi
Tidak semua pencitraan digital negatif. Ada banyak contoh branding yang memberi manfaat nyata:
Influencer edukatif: akun yang membagikan tips menabung, workout sederhana, atau review buku. Followers mendapat informasi bermanfaat, bukan sekadar hiburan visual.
Politisi transparan: yang membagikan proses kerja, program komunitas, atau laporan kegiatan nyata. Audiens bisa menilai berdasarkan bukti, bukan sekadar narasi.
Dalam konteks ini, pencitraan digital berfungsi sebagai alat komunikasi positif, yang membantu orang lain membuat keputusan atau menambah wawasan.
Manipulasi Opini: Ketika Citra Hanya Topeng
Masalah muncul ketika media sosial dipakai untuk membangun kesan tanpa realitas yang mendukung. Beberapa fenomena sehari-hari yang sering terjadi:
Flexing Halus di Feed
Postingan liburan mewah atau barang branded bisa memberi kesan “hidup sempurna”. Padahal, banyak akun yang hanya menampilkan 10% dari kenyataan, sisanya ditutupi.
Influencer dan Komentar Bayar
Survei internal beberapa platform marketing menunjukkan, komentar berbayar di Instagram berkisar Rp1.000–Rp3.000 per komentar.
Contoh komentar sehari-hari yang sering muncul:
“Keren banget! Ini beneran bikin mupeng 😍”
“Rekomen deh, kualitasnya top banget 👍”Meski terdengar positif, komentar ini tidak selalu mencerminkan pengalaman nyata.
Politisi dan Narasi Terpilih
Posting yang menunjukkan politisi menyapa pedagang atau anak-anak sering disebar luas.
Komentar “peduli rakyat banget, hebat!” bisa muncul berulang, memberi kesan dukungan luas padahal hanya sebagian kecil yang terlibat.
Data dari Katadata 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 40% konten politik yang viral di media sosial menggunakan kombinasi strategi pencitraan dan komentar berbayar untuk membentuk opini.
Mengapa Penting Menyadari Hal Ini
Tidak mudah terpesona oleh angka dan kesan: ribuan like atau komentar bukan jaminan popularitas atau kebaikan.
Mencegah polarisasi opini: jika publik selalu menilai dari citra digital, perbedaan persepsi bisa semakin melebar.
Meningkatkan literasi digital: belajar membaca konten dengan kritis, bukan sekadar menelan kesan pertama.
Tips Cerdas Menghadapi Pencitraan Digital
Periksa konsistensi
Apakah postingan sehari-hari selaras dengan citra yang dibangun?
Kenali komentar berulang
Komentar generik, emoji berlebihan, atau kalimat yang sama di banyak postingan bisa menandakan komentar berbayar.
Bandingkan narasi dan fakta
Misal politisi posting kegiatan sosial: cek laporan atau media independen untuk menilai apakah kegiatan itu nyata atau hanya sebagian kecil yang ditonjolkan.
Refleksi pribadi
Jangan membandingkan hidup sendiri dengan feed orang lain. Media sosial hanya menampilkan potongan realitas.
Dampak Sosial dari Pencitraan Manipulatif
Kecemasan sosial: orang merasa hidupnya kurang sempurna dibanding apa yang terlihat di feed.
Kehilangan kepercayaan: ketika citra palsu terbongkar, publik cenderung skeptis terhadap semua akun.
Pengaruh opini: pencitraan bisa membentuk narasi publik, terutama saat komentar palsu ikut menguatkan kesan tertentu.
Penutup
Pencitraan digital adalah bagian wajar dari media sosial. Yang perlu kita lakukan adalah menjadi konsumen konten yang cerdas.
Nikmati inspirasi dari influencer atau politisi yang jujur.
Sadari bahwa tidak semua yang viral atau populer itu nyata.
Gunakan media sosial untuk belajar, bukan sekadar menilai.
Pesan utama: feed yang indah tidak selalu mencerminkan kenyataan. Bijaklah dalam menilai, dan jangan mudah terpesona oleh citra digital.
Referensi
We Are Social & Hootsuite (2025). Digital 2025: Indonesia.
Katadata (2024). Polarisasi Politik di Era Digital.
Kompas (2023). Fenomena Flexing dan Ilusi Kekayaan di Media Sosial.
BBC (2021). Fake reviews worth $152bn a year.
Berita dan artikel dengan perspektif inklusif.
Komunitas
Info Terkini
redaksi@tapisdigital.id
+62 895-1440-2290
© 2025. All rights reserved.
